🌴🍃🌾 SEDEKAH AIR MINUM
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda, 

 لَيْسَ صَدَقَةٌ أَعْظَمَ أَجْرًا مِنْ مَاءٍ

"Tak ada sedekah yang paling besar pahalanya daripada (sedekah) air." [HR. Al-Baihaqi] Lihat Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, hadits no. 960.

Ada yang bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, 

"Sedekah apa yang paling utama?" Jawabnya, "Air." "Tidakkah kalian memperhatikan kepada penduduk neraka ketika meminta tolong penduduk surga? 

أَنْ أَفِيضُوا عَلَيْنَا مِنَ الْمَاءِ أَوْ مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ

"Limpahkanlah kepada kami sedikit air atau makanan yang telah Allah rezekikan kepadamu." [Surah Al-A'raaf: 50]

Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan, 

"Dalam ayat ini ada dalil tentang memberi air minum termasuk amalan yang utama."

Sebagian tabi'in (ulama yang hidup setelah generasi para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam) pernah mengungkapkan, "Barang siapa banyak dosa hendaknya dia memberi (bersedekah) air minum. Sungguh Allah Ta'ala telah mengampuni dosa (seorang wanita pelacur) yang telah memberi minum seekor anjing yang kehausan."

📚 Lihat Tafsir Al-Qurthubi dan Tafsir Ibn Katsir dalam menjelaskan surah Al-A’raf:50.

Ya, Allah ya Rabb, tumbuhkanlah pada diri kami semangat untuk selalu berbuat kebaikan, dan terimalah segenap amal baik kami. Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Penulis al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzohulloh 
🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴🌾

SEDEKAH AIR MINUM

🌴🍃🌾 RUMAH JADI PEKUBURAN?
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, 

لَا تَجْعَلُوا بُيُوْتَكُمْ مَقَابِرَ، إنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ البَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيْهِ سُوْرَةُ البَقَرَةِ.

"Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang dibacakan di dalamnya surah Albaqarah." [HR. Muslim, no. 780]

Di antara bentuk penjagaan rumah dari beragam keburukan, yaitu membentengi rumah dari aksi setan terkutuk. 

Membaca Alquran, terkhusus surah Albaqarah merupakan satu dari sekian banyak cara yang dituntunkan dalam Islam. Karenanya, hiasilah rumah dengan beragam amal kebajikan, seperti membaca Alquran dan menunaikan shalat-shalat sunnah. 

Jangan jadikan rumah-rumah kita seperti kuburan yang sunyi dari beragam ibadah, sunyi dari beragam amal saleh. 

Ya, Allah curahkanlah ketenangan dan kasih sayang kepada kami dan seisi rumah kami. Jagalah kami dan seisi rumah kami dari tipu daya setan yang terkutuk. 

Penulis al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzohulloh 
🍃🌴🌾🌴🍃🌾🌴🌾🍃🌴

RUMAH JADI PEKUBURAN?

MENGURAI BENANG KUSUT NIKAH SIRI
Oleh : Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Pernikahan adalah sebuah akad untuk menghalalkan hubungan yang agung dan luhur antara pria dengan wanita yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami istri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujun mencapai keluarga sakinah, mawaddah serta saling menyantuni antara keduanya.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum : 21)

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ ۗ

“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah : 187)

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا ۖ فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيفًا فَمَرَّتْ بِهِ ۖ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللَّهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur".” (QS. Al-A’raf : 189)

Suatu akad pernikahan menurut hukum Islam ada yang sah dan ada yang tidak sah, hal ini dikarenakan akad yang sah adalah akad yang dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun-rukun yang lengkap sesuai dengan ketentuan syar’I, sebaliknya akad yang tidak sah adalah akad yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat-syarat serta rukun-rukun pernikahan.

Diantara syarat-syarat pernikahan adalah :

Adanya kepastian siapa mempelai laki laki dan siapa mempelai wanita dengan isyarat (menunjuk) atau menyebutkan nama atau sifatnya yang khusus. Sehingga tidak cukup bila seorang wali hanya mengatakn “Aku nikahkan engkau dengan putriku”, sementra ia memiliki beberapa orang putri

Keridhaan dari masing-masing pihak. Dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu’alaihi wasallam

لاتنكح الأيم حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah / dimintai persetujuannya dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan sampai dimintai izinnya” (HR Bukhari, Muslim)

Adanya wali bagi calon mempelai wanita, karena Nabi shalallahu’alaihi wasallam bersabda

لانكاح الا بولي

“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali”. (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain, dishahihkan Al Albani dalam Al irwa)

Beliau juga bersabda

أيما امرأة نكحت بغير اذن مواليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل, فنكاحها  باطل

 “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin wali-walinya, maka nikahnya batil, nikahnya batil, nikahnya batil" (HR Abu Daud dishahihkan al Albani rahimahullah)

Apabila seorang wanita menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya wali, maka nikahnya batil, tidak sah. Demikian pula bila ia menikahkan wanita lain. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dan ini pendapat yang benar dan kuat.

Persaksian atas akad nikah tersebut, dalilnya Nabi shalallahu’alaii wasallam bersabda,
لا نكاح الا بولي وشاهدي عدل
“Tidak ada pernikahan kecuai dengan adanya wali dan dua saksi yang adil” (HR Abu Dawud, Tirmidzi dan yang lainnya dishahihkan Al Albani)

Imam At Tirmidzi rahimahullah mengatakan “Pengamalan hal ini ada di kalangan Ahlul Ilmi, baik dari kalangan sahabat nabi shalallahu’alaihi wasallam maupun orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa tidak sah pernikahan tanpa adanya saksi-saksi. Tidak seorang pun di antara mereka yang menyelisihi hal ini, kecuali sekelompok ahlul ilmi dari kalangan mutaakhirin”. (Sunan At Tirmidzi 2/284)

Adapun rukun-rukun nikah adalah sebagai berikut;

Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan tidak terlarang secara syar’I untuk menikah, seperti adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan atau si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya.

Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali. Dengan mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (Aku nikahkan engkau dengan fulanah) atau “An kahtuka Fulanah” (Aku nikahkan engkau dengan Fulanah)

Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya dengan mengatakan “Qabiltu hadzan nikah atau qabiltu hadzat tazwij (Aku terima pernikahan ini) atau qabiltuha. (Lihat Majalah Asy Syariah edisi 39 tanggal 17 november 2011)

Menikah secara Siri

Nikah siri tampaknya telah menjadi topik pembicaraan yang cukup hangat di Indonesia, terlebih ketika banyak pihak yang melakukannya dari berbagai kalangan. Sehingga masyarakat pun mempopulerkan nya dengan berbagai istilah, seperti kawin bawah tangan, kawin diam-diam, kawin lari dan sebagainya.

Karena semakin ramainya istilah nikah siri dan semakin banyak yang menyukainya, orang-orang yang memiliki niat menghancurkan citra islam memanfaatkan istilah nikah siri ini utk melegalkan perbuatan haram seperti, prostitusi, mut’ah bahkan trafficking, seperti yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan, dengan munculanya sebuah situs yang menawarkan nikah siri online. Dan inilah yang patut untuk diwaspadai, sebab pernikahan adalah syariat yang suci, dan tidak ada hubungan yang dapat menjaga kesucian seorang muslim dan muslimah kecuali melalui pernikahan yang sah.

Dalam pengertian masyarakat ketika mendengar kata nikah siri, seringkali yang terbayang adalah nikah yang diharamkan. Padahal tidak juga, karena nikah siri ini tetap sah ketika memenuhi syarat dan rukun pernikahan. Setidaknya ada tiga pengertian yang penting untuk diketahui menyangkut praktek nikah siri ini.

Pengertian pertama, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi tanpa saksi dan wali. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh imam asy syafi’I di dalam kitab al um. Diriwayatkan dari malik dari abu Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata: “Ini adalah nikah siri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya)”. (HR Malik, ahmad dan yang lainnya). Pernikahan siri dalam bentuk yang pertama hukumnya tidak sah.

Pengertian kedua, nikah siri adalah nikah yang dihadiri oleh wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada khalayak ramai. Para Ulama pun berbeda pendapat tentang hukum nikah yang seperti ini. Ada yang menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh, dan ini pendapat mayoritas para ulama seperti imam syafi’I, imam ahmad dan yang lainnya, diantara alasannya adalah suatu pernikahan jika telah dihadiri wali dan dua orang saksi dianggap telah sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khalayak umum. Namun ada juga yang berpendapat hukum nikahnya tidak sah.

Pengertian ketiga, nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam Lembaga pencatatan negara, dalam hal ini adalah KUA. Hukum nikah dalam pengertian yang ketiga ini sah dan tidak bertentangan dengan ajaran islam karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi, sehingga tidak ada dosa.

Berkata al Allamah asy Syaikh Sholhh bin Fauzan al Fauzan hafidzahullah “ Apabila sudah terpenuhi syarat-syarat akad nikah, seperti adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya keridhaan dari kedua mempelai, maka nikahnya sah ditambah lagi jika tidak ada hal-hal syar’i yang menghalanginya walaupun tidak mengumumkannya kepada khalayak umum. Karena kehadiran saksi dan wali, ini sudah teranggap mengumumkan pernikahan, dan sebagai bentuk pengumuman yang paling minimal. Maka nikahnya sah insyaallah apabila terpenuhi padanya syarat-syarat yang telah disebutkan tadi, dan tentu semakin luas pengumumannya maka itu semakin utama”. (islamway.net)

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa’adi mengatakan, pernikahan dibawah tangan atau nikah siri hukumnya sah. Asalkan telah terpenuhi syarat dan rukun nikah. “Rukun pernikahan dalam islam antara lain ada pengantin laki-laki, pengantin perempuan,wali, dua orang saksi, mahar serta ijab dan qabul”, kata Zainut kepada Republika.co.id, senin (25/9). Namun demikian MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Namun demikian, Nabi shalallahu’alaihi wasallam mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul’ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai wajib hukumnya, namun nabi shalallah’alihi wasallam sangat menganjurkannya.

Nabi shalallahu’alihi wasallm bersabda

اولم ولو بشاة

“Adakan walimah walaupun dengan (menyembelih) seekor kambing” (HR. Bukhari, Muslim)

Wallahu’alam.

Disalin Dari Majalah Qonitah Edisi 35/Vol 03/1439H - 2018

MENGURAI BENANG KUSUT NIKAH SIRI

🌴🍃🌾 ISTIGFAR UNTUK ORANG TUA
Dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu,

إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِي الْجَنَّةِ 
فَيَقُولُ: ياَ رَبِّ أَنَّى لِيْ هَذِهِ؟ 
فَيَقُولُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَك

"Sesungguhnya Allah mengangkat derajat seorang hamba yang saleh di jannah (surga). Kemudian hamba itu berkata, ‘Wahai Rabbku, (bagaimana) aku bisa begini?’ Maka Allah berfirman, ‘Dengan sebab istigfar (permohonan ampun) anakmu untuk dirimu’.” [HR. Ibnu Majah]
Lihat Fathul Qadir, 5/142

Doa seorang anak yang saleh terhadap orang tuanya merupakan amal terpuji. Doa seorang anak saleh kepada orang tuanya merupakan hasil tarbiyah (pendidikan) kesalehan yang disemaikan pada diri sang anak.

Maka, walau di tengah kesibukan yang melilit, bagi seorang anak yang terhunjam kukuh kesalehan dalam dirinya, doa untuk orang tua senantiasa mengalir tiada henti. Hari demi hari diisi permohonan istigfar untuk orang tuanya.

Ya, Allah ya Ghafur, ampunilah kami dan orang tua kami. Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun.

Penulis al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzohulloh 
🍃🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴

ISTIGFAR UNTUK ORANG TUA

🌴🌾🍃 MEMOHON KEBAGUSAN PERANGAI
Dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha, ia bertutur,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ اللَّهُمَّ أََحْسَنْتَ خَلْقِي فَأََحْسِنْ خُلُقِي

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan (doa):

اللهم أحسنت خلقي فأحسن خلقي

Allahumma ahsanta khalqi, fa ahsin khuluqi

Ya Allah, Engkau telah membaguskan (keadaan) fisikku, maka baguskan pula perilakuku. [Lihat, Al-Irwa'u Al-Ghalil, 1/115]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah sebaik-baik teladan. Sikap dan perilaku beliau senantiasa mulia.

Beliau membimbing umatnya untuk memohon kepada Allah Subhanahu perihal kebagusan perilaku. Tak semata fisik yang diperindah, namun tutur kata, sikap dan perilaku pun hendaklah elok dipandang sesama.

Betapa terasa indah, nyaman dan aman bila tutur kata terukur. Tiada kata yang menyakiti teman seiring. Tiada sikap perbuatan yang meruntuhkan harga diri dan kehormatan sesama.

Apalah arti fisik cakap rupawan bila tiada disertai perilaku elok menawan. Tidak jujur, kasar, suka mencela orang. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu dari keburukan akhlak.

Ya, Allah Yang Maha Penyayang, baguskanlah akhlak kami. 

Penulis al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzohulloh 
🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴🌾🍃🌴🌾

MEMOHON KEBAGUSAN PERANGAI

🌾🍃🌴 PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWWAL
Dari sahabat mulia Abu Ayub Al-Anshari radhiyallahu 'anhu. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda

مَنْ صَامَ رَمَضانَ ثُمَّ أتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ، كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.

"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diiringi dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia seperti berpuasa selama satu tahun." [HR. Muslim, no. 116]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberi berita gembira bagi orang-orang yang beriman dengan satu amal yang akan memberi kebaikan bagi yang menunaikannya. 

Nabi shallallahu alaihi wa sallam memotivasi umatnya untuk merengkuh kebaikan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawwal setelah pungkas menyelesaikan puasa Ramadhan. 

Berdasar hadits di atas, bila seseorang masih memiliki hutang puasa Ramadhan, hendaknya segera disempurnakan puasa Ramadhannya setelah itu tunaikan puasa enam hari Syawwal. Barangsiapa yang telah menyempurnakan puasa Ramadhan lalu diikuti puasa Syawwal enam hari, maka terhitung baginya puasa selama setahun. 

Allah Ta'ala berfirman, 

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا

"Barangsiapa melakukan amal kebaikan, maka baginya mendapat (pahala) semisal sepuluh kali lipat dari amalnya." [Surah Al-'An'am: 160]
 
Puasa Ramadhan memiliki kedudukan sepuluh bulan. Adapun puasa enam hari Syawwal memiliki kedudukan dua bulan. Sehingga semuanya 12 bulan atau satu tahun. 

Berpuasa enam hari Syawwal bisa ditunaikan secara terus menerus enam hari. Bisa juga ditunaikan secara tidak berurut atau tidak terus menerus. Hari ini puasa, besok tidak. Dua hari kemudian puasa Syawwal lagi, setelah itu tak berpuasa. Boleh tidak berurut asal tetap berpuasa selama di Bulan Syawwal, berpuasa enam hari. 
Allahu a'lam 

Semoga Allah Ta'ala memberi kemudahan bagi kita untuk melakukannya.

Penulis al-Ustadz Abul Faruq Ayip Syafruddin hafidzohulloh 
🍃🌾🌴🍃🌾🌴🍃🌾🌴🍃🌾

PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWWAL

Adapun takbir tambahan pada rakaat pertama dan kedua itu tanpa takbir rukuk, sebagaimana dijelaskan oleh Aisyah radhiyallahu anha,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى سَبْعًا وَخَمْسًا سِوَى تَكْبِيرَتَيْ الرُّكُوعِ
“Rasulullah bertakbir pada (shalat) Fitri dan Adha 7 kali dan 5 kali, selain dua takbir rukuk.” (HR. Abu Dawud dalam “Kitabush Shalat”, “Bab at-Takbir fil ’Idain”, ‘Aunul Ma’bud, 4/10; Ibnu Majah no. 1280; dinilai sahih oleh Syaikh al-Abani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1149)
Pertanyaan, “Apakah lima takbir pada rakaat yang kedua termasuk takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri)?”
Ibnu Abdil Bar menukilkan kesepakatan para ulama bahwa lima takbir tersebut adalah selain takbiratul intiqal. (al-Istidzkar, 7/52, dinukil dari Tanwirul ‘Ainain)
Pertanyaan, “Tentang tujuh takbir pertama, apakah termasuk takbiratul ihram atau tidak?”
1. Pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Abu Tsaur dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa tujuh takbir itu termasuk takbiratul ihram. (lihat Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/178; Aunul Ma’bud, 4/6; Istidzkar, 2/396 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah)
2. Pendapat Imam asy-Syafi’i, bahwa tujuh takbir itu tidak termasuk takbiratul ihram. (al-Umm, 3/234 cet. Dar Qutaibah dan referensi sebelumnya)
Tampaknya yang lebih kuat adalah pendapat Imam asy-Syafi’i, berdasarkan riwayat yang mendukungnya. Riwayat tersebut dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, ia mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِي الْعِيدَيْنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيرَةً، سَبْعًا فِي الْأُولَى وَخَمْسًا فِي الْآخِرَةِ، سِوَى تَكْبِيرَتَيِ الصَّلَاةِ
Adapun lafaz ad-Daraquthni,
سِوَى تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ
“Selain takbiratul ihram.”  (HR. ath-Thahawi dalam Ma’ani al-Atsar, 4/343 no. 6744 cet. Darul Kutub al-Ilmiyah; ad-Daruquthni, 2/47—48 no. 20)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan. Namanya Abdullah bin Abdurrahman ath-Thaifi. Akan tetapi, hadits ini dinilai sahih oleh Imam Ahmad, Ali bin al-Madini, dan Imam al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh at-Tirmidzi. (lihat at-Talkhis, 2/84, tahqiq as-Sayyid Abdullah Hasyim al-Yamani; at-Ta’liqul Mughni, 2/18; dan Tanwirul ‘Ainain, hlm. 158)
Bacaan surah pada dua rakaat shalat Id: semua surah yang ada boleh dan sah untuk dibaca.
Akan tetapi, dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam membaca pada rakaat yang pertama “sabbihisma” (surah al-A’la) dan pada rakaat yang kedua “hal ataaka” (surah al-Ghasyiah). Pernah pula pada rakaat yang pertama beliau membaca surat Qaf dan pada rakat kedua membaca surah al-Qamar. (Keduanya riwayat Muslim, lihat Zadul Ma’ad, 1/427—428)
1. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan.
Imam asy-Syafi’i dan jumhur ulama berpendapat bahwa doa istiftah dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (al-Umm, 3/234 dan al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hlm. 149)
Khotbah Id
Dahulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam mendahulukan shalat sebelum khotbah. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma ia berkata,
شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ
Dalam berkhotbah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdiri dan menghadap manusia tanpa memakai mimbar. Beliau mengingatkan mereka untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wata’ala. Bahkan, beliau mengingatkan kaum wanita secara khusus untuk banyak melakukan sedekah, karena kebanyakan penduduk neraka adalah kaum wanita.
شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِيدَ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ قَالَ: إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
“Aku menyaksikan shalat Id bersama Rasulullah. Ketika selesai shalat, beliau berkata, ‘Kami berkhotbah, barang siapa ingin duduk untuk mendengarkan khotbah, silakan duduk. Barang siapa ingin pergi, silakan.” (Sahih, HR. Abu Dawud dan an-Nasai; dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud, no. 1155)
Namun, alangkah baiknya untuk mendengarkan khotbah apabila itu berisi nasihat-nasihat untuk bertakwa kepada Allah shallallahu alaihi wa sallam dan berpegang teguh dengan agama dan As-Sunnah serta menjauhi bid’ah. Berbeda keadaannya apabila mimbar Id berubah menjadi ajang kampanye politik atau mencaci maki pemerintah muslim yang tiada menambah kecuali kekacauan di masyarakat. Wallahu a’lam.
Wanita yang Haid Tetap Berangkat
Sutrah adalah benda—bisa berupa tembok, tiang, tongkat, atau lainnya—yang diletakkan di depan orang shalat sebagai pembatas shalatnya. Tingginya kurang lebih satu hasta.
Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak memerlukan dan diperbolehkan lewat di depan makmum. Ini adalah sunnah yang ditinggalkan oleh mayoritas manusia. Oleh karena itu, marilah kita menghidupkan sunnah ini, termasuk dalam shalat Id.
“Dahulu, apabila Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar pada hari Id, beliau memerintahkan untuk membawa tombak kecil, lalu ditancapkan di depannya. Kemudian beliau shalat ke hadapannya, sedangkan orang-orang di belakangnya. Beliau melakukan hal itu dalam safarnya. Dari situlah, para pimpinan melakukannya juga.” (Sahih, HR. al-Bukhari, “Kitabush Shalat”, “Bab Sutratul Imam Sutrah liman Khalfah” dan “Kitabul ‘Idain”, “Bab ash-Shalat Ilal Harbah Yaumul ‘Id”;’ lihat al-Fath, 2/463 dan Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/136)
Apabila Masbuk (Tertinggal) Shalat Id, Apa yang Dilakukan?
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Banyak ulama menganggap sunnah bagi imam atau selainnya, apabila pergi melalui suatu jalan menuju shalat Id agar pulang dari jalan yang berbeda. Itu adalah pendapat Imam Malik, ats-Tsauri, asy-Syafi’i, dan Ahmad … Seandainya dia pulang dari jalan yang sama, tidak dimakruhkan.”
Para ulama menyebutkan beberapa hikmahnya. Di antaranya agar lebih banyak bertemu sesama muslimin untuk memberi salam dan menumbuhkan rasa cinta. (Fathul Bari karya Ibnu Rajab, 6/166—167. Lihat pula Zadul Ma’ad, 1/433)
Zaid menjawab, “Beliau shalat Id lalu memberikan keringanan pada shalat Jumat dan mengatakan, ‘Barang siapa ingin mengerjakan shalat Jumat, silakan shalat’.”
“Pendapat yang ketiga dan inilah yang benar, bahwa yang ikut shalat Id, maka gugur darinya kewajiban shalat Jumat. Akan tetapi, imam hendaklah tetap melaksanakan shalat Jumat supaya orang yang ingin mengikuti shalat Jumat dan orang yang tidak ikut shalat Id bisa mengikutinya. Inilah yang diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya.” (Majmu’ Fatawa, 23/211)
Beliau mengatakan juga bahwa yang tidak shalat Jumat tetap melaksanakan shalat Zuhur.
Ada sebagian ulama yang berpendapat tidak shalat Zuhur pula, di antaranya Atha. Akan tetapi, ini pendapat yang lemah dan dibantah oleh para ulama. (Lihat at-Tamhid, 10/270—271)
Ibnu Hajar mengatakan, “Kami meriwayatkan dalam al-Muhamiliyyat dengan sanad yang hasan dari Jubair bin Nufair bahwa ia berkata, ‘Apabila para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertemu pada hari Id, sebagian mereka mengatakan kepada sebagian yang lain,
Ditulis oleh Ustadz Qomar ZA, Lc.

Meneladani Nabi dalam Beridul Fitri Bagian 2